Jumat, 12 April 2013

Belajar Kehidupan dari Budaya Jawa : The Seven Habits of Highly Effective People Versi Semar dan Pandawa

clip_image001

Stephen R. Covey adalah seorang penulis terkenal dengan buku-bukunya seperti Principle Centered Leadership, First Thing First, The 8th Habit From Effectiveness to Greatness, dan buku terbarunya The 3rd Alternative. Salah satu bukunya yang banyak menginspirasi The 7 Habits of Highly Effective People, yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi 7 Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif, oleh Pitoyo Amrih diramu dan dikemas kembali menjadi 7 kebiasaan versi Semar dan Pandawa secara lebih dekat, jelas, lengkap kontekstual dan mudah dimengerti.

Jika ingin lebih memahami apa yang dituliskan oleh Pitoyo Amrih ini, sebenarnya kita perlu membaca terlebih dulu buku 7 kebiasaan dari Covey.

Baiklah kita ulas sedikit tentang 7 kebiasaan yang dimaksud oleh Covey, yaitu :

Kemenangan pribadi atau kemandirian

Kebiasaan 1: Jadilah Proaktif

Kebiasaan 2: Mulailah dari Akhir dalam Pikiran

Kebiasaan 3: Dahulukan yang Utama

Kemenangan publik atau Interdependensi

Kebiasaan 4: Berpikir Menang-Menang

Kebiasaan 5: Berusahalah untuk mengerti orang lain dahulu, baru kemudian dimengerti

Kebiasaan 6: Sinergi

Pembaharuan diri

Kebiasaan 7: Asahlah gergaji

Pada dasarnya kontinum kematangan dari ketergantungan (dependence) ke arah tidak tergantung (independence) sampai akhirnya sampai pada tahap kesalingtegantungan (interdependence) dapat dilampau dengan menerapkan 7 kebiasaan tersebut di atas. Tidak mungkin kesalingketergantungan tercipta manakalah pribadi-pribadi yang terlibat saling melakukan ketergantungan. Malah yang terjadi komunikasi yang saling bingung, tidak punya patokan.

clip_image003

Model proaktif telah dicontohkan oleh Semar ketika mengamati pertarungan seorang ksatria sakti, bernama Bambang Penyukilan. Ksatria ini sesumbar bahwa tidak ada seorang pun yang mampu menandinginya di wilayah utara dunia wayang. Kesombongannya ini, membuat ksatria lain panas, yang bernama Bambang Sukati. Pas banget, ksatria kedua inipun mempunyai watak tinggi hati, selalu memandang rendah orang lain.

Pertarungan keduanya pun tak dapat dihindarkan, sampai berdarah-darah, luka parah tetapi tidak ada yang mau kalah. Meskipun kenyataan keduanya tidak terlihat akan ada yang menang, karena keadaan keduanya sama-sama tidak karuan. Bisa saja Semar sekedar lewat atau tidak mau ambil pusing dengan pertarungan tersebut. Tetapi ternyata Semar memilih untuk datang dan berusaha mengingatkan keduanya bahwa tidak ada gunanya membuktikan siapa nanti yang lebih unggul.

Untuk kebiasaan kedua, mulailah dari akhir dalam pikiran, kita bisa belajar pada Yudistira. Banyak yang memandang Yudistira adalah seorang yang lemah, mudah dipengaruhi, dan tidak biasa mengatakan tidak pada orang lain. Hal ini tampak pada berbagai keputusannya untuk menerima rencana Sengkuni untuk mengadakan acara silaturahmi antara Kurawa dan Pandawa, yang dikenal dengan lakon Bale Sagalagala.

Yudistira punya misi bahwa meski tahta kerajaan Hastinapura adalah haknya, tetapi dia menganggap tidak mungkin memimpin dengan baik seorang diri dengan baik. Dia ingin membagi tahtanya dengan saudaranya, para Kurawa tanpa ada kekerasan dan pertumpahan darah.

Untuk mencapai kebiasaan ketig, yaitu mendahulukan yang utama, kita bisa belajar dari manajemen Kresna. Kresna adalah seorang diplomat ulung dalam menjalin persahabatan antar negeri di dunia wayang. Kresna selalu berusaha menjalin kesalingpercayaan, sehingga siapa pun orangnya, meskipun di pihak Kurawa, tetap menaruh kepercayaan padanya. Kresna mengatakan jika peperangan antara Pandawa dan Kurawa terjadi, maka peperangan itu adalah peperangan keduanya bukan peperangan Kresna. Demikian juga, jika Kresna terlibat langsung maka dapat dipastikan peperangan tersebut tidak akan seimbang. Dalam perang Baratayudha, kita dapat melihat Kresna posisinya hanya sebagai penasihat bagi Pandawa.

Ada yang menganggap, bahwa apa yang terjadi pada Pandawa selama tiga belas tahun masa pembuangannya di negeri Amarta adalah sebuah kondisi kalah-menang. Sebenarnya apa yang terjadi di saat itu adalah masa para Pandawa mengasah kemampuannya. Pada saat itu, Pandawa banyak bertemu dengan resi-resi hebat yang banyak mengajarkan ilmu kautaman maupun ilmu kanuragan. Demikian juga, khususnya pada setahun terakhir Pandawa berbaur dengan rakyat jelata. Saat itulah Pandawa banyak belajar bagaimana memimpin dan mengurus rakyat dalam sebuah negeri.

Belajar kebiasaan kelima yaitu berusahalah untuk mengerti orang lain dahulu, baru kemudian dimengerti dapat melalui berbagai sikap Bima dan Arjuna.

Ketika Pandawa kalah dalam permainan permainan dadu dan harus menjalani pengasingan selama tiga belas tahun ditambah dengan sikap kurang ajar Dursasana terhadap Drupadi, Bima dan Arjuna, terlihat patuh terhadap tanda yang diberikan Yudistira untuk menahan diri.

Bima dan Arjuna, dalam pengembaraannya, akhirnya memisahkan diri dari Yudistira, Drupadi, Nakula, dan Sadewa. Tindakan ini bukan sebagai wujud kekecewaan terhadap Yudistira. Kepergian keduanya semata-mata demi kepentingan Pandawa agar pada masa pengasingan tersebut tidak ada yang mengenal mereka sebagai keluarga Pandawa. Sesuai dengan kesepakatan dalam permainan, jika ada orang yang mengenal mereka sebagai Pandawa, dan Kurawa mendengarnya maka para Pandawa harus mengulangi lagi masa pengasingannya dari awal.

Kebersamaan yang dijalin dalam persaudaraan Pandawa merupakan pembelajaran untuk memahami sinergi. Para anggota Pandawa dalam banyak hal mempunyai banyak perbedaan, seperti pada wujud fisik maupun wataknya. Yudistira dengan postur badan yang sedang dan banyak menundukkan kepala bila bertemu orang lain sangat berbeda dengan Bima yang tinggi besar, berotot, dan sorot matanya tajam. Beda lagi dengan Arjuna, yang mempunyai sorot mata anggun dan wajahnya sangat tampan. Pandawa menyadari betul bahwa kekuatan mereka justru terletak perbedaan di antara mereka.

Sebagai kebiasaan terakhir yaitu asahlah gergaji, kita bisa belajar dari watak ksatria yang selalu diasah oleh Pandawa. Para Pandawa ini terus belajar, memperbaharu diri, ...”bahkan belajar dari seorang pembohong sekalipun”, begitu kata Yudistira. Arjuna dan Bima pun selama pengembaraannya selalu belajar ilmu kautaman dari para resi maupun dari para dewa. Apa yang dilakukan mereka adalah sebuah kegiatan “mengasah gergaji” baik dari dimensi fisik, mental, maupun spiritual.

Sumber gambar :

Pandawa : http://pandawayudhistira.blogspot.com/2010/04/story-of-five-pandavas_30.html

Diagram kontinum kematangan : http://kartiksubbarao.com/open-source-and-interdependent-it

0 komentar:

Posting Komentar